30 Mei 2008

Strategi Internet di UPT Perpustakaan UNS

Strategi Internet di UPT perpustakaan UNS


BAB I
PENDAHULUAAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan dunia informasi membawa perubahan baru pada perpustakaan sebagai pengelola informasi tertua. Melimpahnya informasi dalam berbagai jenis maupun bentuk media, serta tersedianya perangkat yang mampu menunjang kegiatan yang sulit dilakukan di masa lalu, mau tidak mau memberikan peluang bagi perpustakaan untuk melakukan perubahan dalam pola layanan maupun peranan yang diberikan sebagai mediator informasi, fasilitator, dan pendamping pendidik.
Dampak dari globalisasi, reformasi, dan internet membawa peran baru perpustakaan. Perpustakaan sebagai lembaga yang bergerak dalam pengemasan dan penyebaran informasi tidak bisa lepas dengan keberadaan teknologi informasi. Mau tidak mau teknologi informasi harus masuk ke dunia perpustakaan untuk alasan:
Memenuhi tuntutan terhadap jumlah dan mutu layanan perpustakaan.
Pemakai perpustakaan saat ini menuntut berbagai jenis layanan seperti layanan informasi terseleksi (selective dissemination of information), layanan penelusuran online, layanan penelusuran CD-ROM, dll. Mutu layanan pun dituntut lebih baik.



Tutntutan terhadap penggunaan koleksi bersama (resource sharing)
Setiap perpustakaan akan saling membutuhkan demi memberikan layanan yang memuaskan. Peranan union catalog sangat besar dalam mensukseskan program penggunaan koleksi bersama.
Kebutuhan untuk mengefektifkan SDM
Kebijakan zero growth bagi PNS. Dengan adanya komputer pekerjaan tidak memerlukan banyak tenaga seperti halnya manual. Tenaga yang lain bisa dialokasikan untuk pekerjaan lain. Ini akan menambah jenis layanan perpustakaan.
Tuntutan terhadap efisiensi waktu
Sekarang pemakai menuntut layanan instant. Setiap pertanyaan diajukan saat itu pula jawaban bisa diterima. Layanan tersebut bisa terpenuhi dengan bantuan TI.
Keragaman informasi yang dikelola
Banyak koleksi perpustakaan yang harus dibaca dengan penggunaan teknologi computer. Komputer jg dapat menyinpan data dan jenis yang sangat beragam.
Internet menawarkan alternatif baru dalam pemerolehan informasi dan sekaligus penyebarluasan informasi. Jika sebelumnya, informasi berbasis cetak merupakan primadona perpustakaan tradisional, sekarang tersedia format baru dalam bentuk digital melalui Web. Koleksi bahan digital yang ditransmisikan secara elektronik dan disebut perpustakaan digital, keberadaannya semakin penting dalam pemenuhan kebutuhan informasi pengguna. Di lingkungan perguruan tinggi di UPT Perpustakaan Universitas Sebelas Maret Surakarta, ketersediaan bahan jenis ini semakin dirasakan manfaatnya oleh sivitas akademika yang sebelumnya kurang memiliki akses terhadap publikasi mutakhir dalam bidang mereka. Disamping itu, proses transfer informasi di kalangan sivitas akademika dalam tingkat tertentu berubah karena pengguna sudah saling terkoneksi melalui Internet.
. Fenomena di atas sesungguhnya telah dan akan terus berpengaruh pada peran perpustakaan di lingkungan UPT Perpustakaan Universitas Sebelas Maret Surakarta. Pengguna perpustakaan akan semakin tergantung pada internet dengan beberapa alasan seperti biaya, ketersediaan, dan kecepatan pemerolehan. Bahkan pada tingkat tertentu, kemungkinan ketergantungan pada bahan digital akan lebih tinggi dibandingkan terhadap bahan cetak. Oleh karena itu, paradigma bahwa suatu perpustakaan hanya menyediakan informasi cetak harus diubah ke paradigma perpustakaan juga menyediakan informasi digital terutama yang tidak tersedia dalam bentuk cetak.
Untuk memberangkatkan organisasi besar ini memasuki era persaingan informasi, diperlukan sistem yang mampu membiasakan organisasi ini dengan media digital. Atas dasar latar belakang tersebut maka diperlukan pengembangan sistem informasi digital perpustakaan, web site, online PAC berbasis web,dan e-journal. Program ini dijalankan secara bertahap dengan bekerja sama dengan pihak internal maupun eksternal.


1.2 Permasalahan
Berkaitan dengan perubahan dan perkembangan di atas, penulis mengelompokkan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana peran pustakawan di lingkungan UPT Perpustakaan Sebelas Maret menerima dan menyiasati keberadaan teknologi informasi?
2. Bagaimana strategi penggunaan internet di lingkungan UPT Perpustakaan Sebelas Maret?















BAB II
INTERNET DAN KESIAPAN PUSTAKAWAN

2.1 Transformasi Pustakawan
Sebetulnya yang paling memerlukan dan harus pertama kali melakukan transformasi di era informasi ini adalah para pustakawan. Pustakawan memerlukan kemampuan yang lebih dari sekedar pengetahuan dan ketrampilan di bidang TI (bagiamana Indonesia?? Siap??) yang terlebih diperlukan adalah kemampuan untuk melihat dan bekerja seperti ’petani di kebunnya’. Ini adalah kemampuan untuk melihat dan mensinergikan TI dan pengetahuan untuk peningkatan kuantitas dan kualitas siklus pengetahuan. Ini membutuhkan kemampuan melihat ’di atas rata-rata pengguna’ dan kreativitas. Karena itu sebenarnya daftar pekerjaan pustakawan tidak pernah berakhir. Seperti kutipan berikut” New librarians will come from other bacgrounds, and the emphasis will be on leadreship, connectivity, innovation, and creativity-making new and powerful connections increasingly on an individual basis between people and their knowledge needs” (Kempster, 1999: 201).

2.2 Perubahan Peran Pustakawan
Pengaruh perkembangan Internet terhadap profesi perpustakaan di masa depan belum bisa dipastikan. Selanjutnya disebutkan bahwa lingkungan dimana pustakawan bekerja akan berubah, dengan ciri-ciri seperti berikut: akses yang lebih besar terhadap jajaran informasi; kecepatan yang meningkat dalam pemerolehan informasi; kompeleksitas yang lebih besar dalam penelusuran, analisis dan mata rantai informasi; perubahan teknologi yang cepat; lemahnya standarisasi perangkat keras dan lunak; belajar terus bagi pengguna dan staf; dan investasi finansial yang lebih besar untuk teknologi. Peran pustakawan akan beralih dari penekanan pada pengadaan, preservasi dan penyimpanan ke penekanan pada pengajaran, konsultasi, penelitian, preservasi akses demokratis terhadap informasi, dan kolaborasi dengan profesional komputer dan informasi dalam perancangan dan pemeliharaan sistem akses informasi.
Pustakawan Universitas Sebelas Maret Surakarta seharusnya aktif dan terlibat dalam upaya mengubah strategi pembelajaran. Keterlibatan tersebut memberikan peluang kepada pustakawan untuk menawarkan keahliannya dalam mengajarkan keahlian informasi kepada mahasiswa, membantu dosen menjadi cakap dalam hal format informasi digital, dan menyediakan fasilitas fisik belajar kepada mahasiswa. Fasilitas fisik tersebut termasuk: laboratorium komputer, ruang belajar kelompok, ruang seminar, ruang belajar mandiri, dll.
Masih berkaitan dengan peran pustakawan, diperkirakan dimasa depan, kualitas Pustakawan Universitas Sebelas Maret Surakarta akan diukur dengan basis bagaimana mereka menghubungkan pelanggan dengan informasi dan pengetahuan yang mereka butuhkan. Pustakawan akan diukur dalam hal bagaimana mereka memenuhi kebutuhan informasi dan kebutuhan belajar pengguna (mahasiswa). Pustakwan akan dilihat sebagai mitra pengajar dengan dosen untuk membantu mahasiswa berkembang ke arah konsumen informasi yang efektif.
Disamping itu, hampir seluruh bidang pekerjaan pustakawan memerlukan media web untuk mempublikasikan berbagai produk yang dihasilkan. Sebagai contoh, pustakawan pengadaan memerlukannya untuk mempublikasikan daftar peroleh koleksi buku ter up date; pustakawan pengatalogan dapat membuat cantuman katalog sekaligus berbasis web untuk dimuat pada server web perpustakaan; pustakawan pelayanan pengguna memerlukannya untuk mempublikasikan berbagai jenis pelayanan yang tersedia dan kebijakan perpustakaan yang berkaitan dengan pelayanan; dan manajemen perpustakaan memerlukannya untuk mempublikasikan perkembangan, rencana dan program, dan dokumen-dokumen lainnya yang dipandang perlu untuk diketahui oleh publik dalam rangka meningkatkan partisipasi dan dukungan mereka dalam pengembangan perpustakaan.

2.3 Perubahan Lingkungan Kerja
Dari perspektif pelayanan pengguna, UPT Perpustakaan Universitas Sebelas Maret Surakarta telah memperkenalkan suatu pelayanan baru yang berkaitan dengan akses sumberdaya informasi dan publikasi melalui situs web perpustakaan, misalnya memperkenalkan layanan digital, e-journal, dan online PAC. Layanan digital berfungsi menyediakan fasilitas dan bimbingan penggunaan internet, mengidentifikasi berbagai informasi yang tersedia melalui internet dan menyebarluaskannya kepada pengguna, dan mendigitalisasi bahan-bahan pustaka (Tugas Akhir,Skripsi, dan Artikel beberapa dosen) untuk dipublikasikan melalui salah satu aplikasi (dglib) di situs perpustakaan.
Penyediaan fasilitas dan bimbingan Internet tidak sama dengan penyediaan warung Internet untuk umum. Penyediaan terminal dan bimbingan di perpustakaan ditujukan untuk pemerolehan bahan digital yang dibutuhkan oleh sivitas akademika untuk mendukung tugas-tugas mereka. Oleh karena itu tata ruang, prosedur, dan pengawasannya harus dirancang sedemikian rupa agar penggunaan internet sesuai dengan misi perpustakaan. Penggunaan fasilitas ini dipungut biaya. Pembebanan biaya tersebut perlu dilakukan untuk menghindari penggunaan yang tidak produktif dan untuk mengontrol efisiensi waktu pengguna.
Pendigitalisasian bahan-bahan khas Universitas Sebelas Maret Surakarta yang tidak diterbitkan dalam bentuk cetak dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi perpustakaan dalam hal penyimpanan dan pemeliharaan fisik dokumen, memudahkan penggunaannya, dan sebagai upaya perpustakaan untuk ikut meningkatkan kualitas karya sivitas akademika dengan mempublikasikannya secara luas, serta berbagi sumberdaya informasi dengan institusi lain.
Dari perspektif tugas pustakawan, penyediaan terminal internet dan publikasi web akan mendorong peningkatan profesionalisme, efisiensi dan moral kerja pustakawan. Beberapa bidang pekerjaan pustakawan saat ini memerlukan fasilitas terminal internet untuk mengakses informasi yang mereka perlukan. Sebagai contoh, pustakawan referens memerlukannya untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan referens; pustakawan pengadaan memerlukannya untuk mencaritahu data terbitan yang tersedia di pasar dan untuk pemesanannya; pustakawan pengatalogan memerlukannya untuk mencari dan bila mungkin mendownload data bibiliografis untuk cantuman katalog; dan pustakawan sistem memerlukannya untuk mengikuti perkembangan dan mendapatkan perangkat lunak yang diperlukan oleh perpustakaan.

2.4 Pelatihan
Perpustakaan digital membutuhkan pustakawan digital. Koleksi digital harus dipilih, diadakan, diorganisasikan, dibuat siap akses, dan dipelihara. Pelayanan digital harus direncanakan, diimplementasikan, dan didukung. Walaupun komputer merupakan peralatan utama yang penting dimana perpustakaan digital dibangun, tetapi sumberdaya manusia dibutuhkan untuk menyatukan semuanya dan menjadikannya berjalan. Pustakawan digital harus memiliki kualitas personal tertentu daripada memiliki keahlian teknis yang dapat dipelajari. (Hastings, 1996) menyebutkan beberapa kriteria sebagai pustakawan digital yaitu: harus mampu berkembang dalam perubahan, membaca terus-menerus tetapi selektif, dan bereksprimen tanpa akhir. Mereka harus mencintai belajar, mampu mengajar diri sendiri, dan berani mengambil resiko, serta memiliki keuletan terhadap potensi dan kesukaran teknologi.
Untuk menyiapkan pustakawan digital, perpustakaan harus menyeleksi tenaga potensial untuk mengikuti pelatihan singkat tentang pengelolaan web. Materi yang dipelajari, seperti yang dilakukan oleh GDL (Ganesa Digital Library) dari Institut teknologi Bandung.



BAB III
STRATEGI PENGGUNAAN INTERNET
DI PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SOLO

3.1 Fungsi Internet
Fungsi Internet di UPT Perpustakaan UNS dapat diuraikan seperti dibawah ini: penyediaan akses, yaitu penyediaan sarana dan prasarana dimana pustakawan dan pengguna perpustakaan dapat menggunakan internet. Dalam hal ini, perpustakaan menyediakan sejumlah komputer sebagai terminal yang terhubung ke internet. Penyediaan layanan akses ini bertujuan untuk memungkinkan sivitas akademika dapat memperoleh informasi yang bersumber dari web, yang diperlukan untuk mendukung kegiatan proses belajar-mengajar dan penelitian. Pengguna dapat melakukan sendiri penelusuran, atau dengan memesan bahan yang mereka perlukan kepada pustakawan. Dalam kaitan ini, pengetahuan dan pengalaman pustakawan dalam penelusuran menjadi sangat penting karena dapat meningkatkan efisiensi pustakawan dan pengguna. Pustakawan sesuai dengan peran dasarnya, dalam menyediakan akses internet dapat bertindak sebagai pembimbing terutama bagi pengguna baru, konsultan seperti layaknya fungsi pustakawan referens.
Selain itu penggunaan internet berfungsi pula sebagai publikasi elektronik yaitu kegiatan untuk mempublikasikan berbagai informasi tentang dan oleh perpustakaan. Dalam hal ini, UPT Perpustakaan Universitas Sebelas Maret memiliki dan memelihara sendiri suatu situs web. Penerbitan web bertujuan untuk mempublikasikan berbagai informasi tentang perpustakaan dan kegiatannya. Kegiatan ini pada dasarnya sama dengan publikasi berbagai selebaran, brosur, pamflet panduan perpustakaan, daftar perolehan buku baru.
Situs perpustakaan memberi peluang baru bagi pustakawan untuk melakukan sesuatu yang sebelumnya tergolong sulit untuk dilakukan. Peluang tersebut diantaranya adalah menerbitkan artikel-artikel kepustakawanan hasil karya pustakawan Universitas Sebelas Maret. Karya tersebut antara lain adalah bahan-bahan oleh dan tentang Universitas Sebelas Maret Surakarta, termasuk diantaranya laporan penelitian pustakawan, karya tulis pustakawan, makalah seminar kepustakawanan. Kegiatan lainnya yang dimungkinkan adalah pelayanan perpanjangan pinjaman sebagai alternatif perpanjangan melalui internet (belum terealisasikan), konsultasi antara pengguna dengan pustakawan (referens), Online PAC, pemesanan buku, dan sebagainya.

3.2 Internet Sebagai Akses Informasi
Internet merupakan salah satu kunci komunikasi untuk para pengguna perpustakaan. Kemampuan memindahkan informasi melalui internet dapat memperluas dan meningkatkan jumlah pengguna perpustakaan. Internet merupakan sarana yang ampuh yang dapat menghubungkan ke sejumlah besar informasi, seperti juga koleksi dan layanan perpustakaan yang diberikan kepada para mahasiswa (off-campus). Pustakawan perlu mempromosikan keahlian dan pengetahuan mereka dalam menggunakan internet. Yang paling penting, penelitian web yang berhasil akan memerlukan pengaturan dan struktur internet yang lebih baik dari yang ada sekarang ini. Mengapa perlu pengaturan yang baik adalah adanya kebutuhan akan informasi yang terkini. Internet menawarkan cara yang canggih untuk menyebarkan informasi dengan sangat cepat dan luas. Alasan lain perlunya meneliti struktur dan pengaturan internet adalah karena banyaknya informasi yang disimpan di dalam internet yang tidak dapat ditemukan oleh search engines. terhubung ke web. Jika seorang pengguna memakai internet dengan menggunakan bermacam-macam search engine komersial yang ada, mereka mungkin tidak berhasil menemukan banyak informasi ilmiah yang mereka cari. Lagi pula, akses ke isi jurnal dan database online biasanya didapatkan dengan berlangganan dan tidak tersedia bagi pemakai yang masuk tanpa menggunakan kode otorisasi tertentu. Pengguna seringkali tidak menyadari bahwa banyak sumber-sumber informasi online ini dapat diakses melalui perpustakaan universitas mereka, tetapi jika perpustakaan menyediakan halaman web yang menerangkan sumber-sumber informasi ini, maka search engine akan mempunyai alat untuk memanggil informasi ini untuk para pengguna.

3.3 Strategi Pengembangan
Berdasarkan uraian di atas, dapat diidentifikasi empat isu strategis berkaitan dengan pengembangan strategi pendayagunaan Internet oleh perpustakaan di lingkungan UPT Perpustakaan Universitas Sebelas Maret seperti berikut ini.
Pertama, penyediaan sarana layanan akses internet merupakan suatu keharusan untuk mendorong peningkatan pemanfaatan Internet yang pada akhirnya bermuara pada peningkatan kualitas dan produktivitas sivitas akademika. Kedua, publikasi elektronik dengan pengembangan perpustakaan digital dan penelusuran jurnal elektronik mampu mendorong peningkatan kualitas karya yang dihasilkan oleh sivitas akademika, peningkatan pemanfaatan produk tersebut oleh masyarakat luas, dan peningkatan fungsi berbagi sumberdaya dengan institusi lain. Ketiga, penyediaan infrastruktur internet di dalam kampus mampu meningkatkan efisiensi penyediaan layanan akses dan publikasi elektronik disamping fungsi komunikasi dan sistem informasi manajemen. Keempat, kolaborasi antara pusat komputer dan perpustakaan sesuai dengan fungsinya masing-masing sebagai penyedia infrastruktur dan muatan, mampu mengembangkan suatu pelayanan informasi berbasis web yang sesuai dengan harapan pengguna (sivitas akademika)













BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN

4.1 Simpulan

Kemajuan teknologi komunikasi dan ledakan informasi membuat pengguna memiliki bebagai alternative dalam mendapatkan informasi. Internet menawarkan berbagai portal (search engine) dalam menelusur informasi. Fenomena ini bisa diatasi dengan transformasi perpustakaan sebagai pengelola informasi. Perpustakaan harus mampu memainkan peranan aktif dan penting dalam siklus pengetahuan civitas academika melalui content management. Pengguna perlu dilengkapi dengan ketrampilan informasi (information literacy) yang merupakan serangkaian kemampuan untuk menyadari kebutuhan informasi dan kapan informasi dibutuhkan, mengidentifikasi dan menemukan lokasi informasi, memanfaatkan secara etis, dan mengkomunikasikan secara efektif.
Strategi pemanfaatan internet di UPT Perpustakaan Universitas Sebelas Maret adalah dengan membangun situs web http://pustaka.uns.ac.id yang meliputi aplikasi digital library, e-journal, dan online PAC. Keberhasilan penggunaan Internet di perpustakaan pada dasarnya tidak terlepas dari keberhasilan pengembangan perpustakaan secara keseluruhan. Oleh karena itu, pustakawan UPT Perpustakaan Universitas Sebelas Maret harus memiliki visi yang jelas sebagai arah yang dituju dalam pengembangan perpustakaan.


4.2 Saran
Demi kemajuan UPT Perpustakaan Universitas Sebelas Maret maka penulis memmberikan beberapa saran atau masukan sebagai berikut:
1. Perlu adanya kerjasama dengan stakeholders baik internal maupun eksternal dalam rangka pengembangan penelusuran informasi yang telah berjalan (berbasis web)
2. Perlu adanya pengembangan kualitas sumber daya manusia khususnya pengetahuan tentang teknologi informasi demi mendukung peningkatan penerapan internet.
3. Masalah aksesibilitas perpustakaan digital
a. Pengelola hendaknya mengetahui esensi perpustakaan digital
b. Isu legal: masalah legal terkait dengan konten digital
c. Isu teknologi: life cycle manajemen koleksi digital yang disimpan




















DAFTAR PUSTAKA


Diao Ai Lien. 2004. Transformasi Dunia Perpustakaan. Media Pustakawan. 11 (3-4): 13-17
Hamalik, Oemar. 1989. Komputerisasi, Informasi, Edukasi. Bandung: Mandar Maju.
Hasting, Kirk. 1996. How to Build a Digital Librarian. D-Lib. Magazine
Tanembaum, Andrew S. 2000. Jaringan Komputer (Computer Networks). Jakarta: Prenhallindo.

Pustakawan di Era Globalisasi

Pendahuluan
Globalisasi informasi merupakan proses yang berlangsung paling cepat karena kemajuan teknologi media cetak dan elektronik, komputerisasi, sistem digital, dan sebagainya. Perkembangan globalisasi sebagai hasil dari perkawinan kepentingan ekonomi dan kemajuan teknologi membawa pada banyak persoalan, salah satunya mengenai nasib institusi pendidikan. Di mana dunia pendidikan tidak terlepas dari peran perpustakaan. Hal ini sesuai dengan UU No.2 tahun 1999 tentang Pendidikan Nasional bahwa salah satu sarana untuk mecerdaskan bangsa adalah dibentuk suatu perpustakaan di tiap tingkat sekolah (dari Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi). Laju kemajuan teknologi informasi telah menggempur dinding-dinding sekolah/kampus, menawarkan keterbukaan baru dalam mendapatkan pengetahuan. Bidang pembangunan infrastruktur jaringan teknologi informasi seperti internet dan intranet mempercepat arus informasi yang beragam. Pembangunan server intranet sebagai salah satu bagian pembangunan infrastruktur teknologi informasi sangat dibutuhkan untuk memenuhi segala kebutuhan masyarakat menjelang era globalisasi. Pembangunan web server intranet yang merupakan server untuk penyedia akses/sumber informasi di internet dirasakan sangat penting dan mendesak ini dikarenakan pertumbuhan dan kebutuhan pengguna internet di seluruh dunia. (Lampiran 1)
Siapapun tanpa kenal ras, agama, etnik, usia bebas memperoleh informasi lewat internet. Siapapun menjadi semakin mudah untuk melakukan multy-tasking (beberapa tugas dalam waktu yang sama hanya melalui satu komputer), internet juga memudahkan orang untuk berpikir dan menuangkan gagasannya secara multi format dan non-linier. Kemampuan internet juga meningkatkan percepatan cross-breeding informasi dan pengetahuan yang bukan lagi dalam disiplin atau bidang kehidupan yang sama, tetapi juga secara intra dan interdisiplin bidang kehidupan.
Dengan fenomena ini informasi yang dulu dikontrol oleh kehadiran perpustakaan, kini telah tergantikan oleh mesin pencari data semacam Google, Yahoo, AltaVista, dan sejenisnya. Pada kasus inilah, posisi perpustakaan pun mencair, tak terbatasi oleh bangunan dan rak-rak buku, namun lebih bermain pada jaringan dan ketersediaan informasi di dunia maya. Perpustakaan menjadi vehicle manusia untuk melakukan pengembaraan dalam ruang dan waktu.
Melihat gambaran di atas, bagaimanapun akan menciptakan kompetivenes, mengingat semakin dikuranginya hambatan dari berbagai hal antar negara. Kompetivenes akan menjadi sebuah icon dan siapa yang terbaik dialah yang menang. Perpustakaan sebagai lembaga yang bertugas mengolah, menyimpan, mengemas, dan mendistribusikan informasi saat ini dituntut untuk mampu beradaptasi di era globalisasi untuk memenuhi kebutuhan pengguna secara relevan, akurat, dan cepat. Dengan kata lain right users, right information, and right now. Di sini pustakawan harus segera mengambil prakarsa untuk mengeksplorasi potensi informasi dan pengetahuan yang terdapat di lingkungannya masing-masing dan mengembangkan sistem untuk penanganannya termasuk penyiapan sumber daya manusia, organisasi, infrastuktur teknologi informasi, dan infrastruktur hukum yang diperlukan. Berikut ini adalah kutipan tentang pustakawan yang dibutuhkan di era globalisasi:
”Holistic librarians with a broad range of competencies and skills are an emerging prerequisite in academic libraries, especially in technology-oriented roles.” (Dupuis & Ryan 2002: 5)[1]
Mencermati pernyataan di atas Menurut penulis pernyataan Dupuis & Ryan tersebut merupakan visi pustakawan, sehingga patut dipakai sebagai acuan dalam mengembangkan kepustakawanan Indonesia.

Permasalahan
Pada saat ini yang sangat mendesak adalah kesiapan sebuah perpustakaan menghadapi era globalisasi. Globalisasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk berkompetisi dan bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan, dimana sumber daya manusia dan kemampuan manusia untuk berinteraksi dengan lingkungannya menjadi faktor yang amat penting. Dengan melihat gambaran di atas, apa yang harus dilakukan oleh pustakawan, khususnya pustakawan Indonesia di era globalisasi? Mau tidak mau organisasi perpustakaan Indonesia harus mengembangkan kiprah kepustakawanannya. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka perlu suatu kupasan tentang paradigma kepustakawanan selama ini, keilmuan pustakawan, praktek kepustakawanan, aplikasi teknologi, profesionalisme pustakawan, dan organisasi profesi.

Pembahasan
Ø Paradigma kepustakawanan
Paradigma atau citra merupakan seperangkat kesan di dalam pikiran pemakai terhadap suatu objek. Sedangkan kepustakawanan, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan pustakawan, seperti profesi kepustakawanan dan penerapan ilmu. Misalnya dalam hal pengadaan koleksi, pengolahan, pendayagunaan, dan penyebaran informasi kepada pemakai.
Profesi pustakawan di negeri ini masih merupakan pilihan profesi alternatif, tenaga pustakawan “dipandang sebelah mata”, “tenaga buangan” di mana perpustakaan adalah unit kerja tempat pembuangan pegawai yang kurang berprestasi. Masih ada anggapan bahwa perpustakaan dapat diurus oleh siapa saja. Mereka bekerja sebagai pustakawan kebetulan ( a pseudo librarian) di mana mereka terpaksa bekerja di perpustakaan karena tidak diterima di tempat lain, menjadi tenaga perpustakaan yang bekerja dengan setengah hati. Sebaliknya hanya ada sedikit jumlah pustakawan yang terpanggil untuk bekerja sebagai the true librarian. Hal ini membawa dampak pada etos dan kinerja pustakawan yang akhirnya berdampak pada kualitas pelayanan.
Bila penulis cermati paradigma dari kepustakawanan terletak pada dua sisi, yaitu :
(1) Sisi intangible, yaitu sumber daya manusia (kecepatan, keprofesionalan, dan keramahan pelayanan)
(2) Sisi tangible, yaitu
- Kelengkapan dan kebaruan koleksi
Kemutakhiran koleksi adalah sangat diperlukan untuk meningkatkan relevansi kurikulum dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

- Kecanggihan sarana dan prasarana.
Bagimanapun juga pelayanan sebagai pintu gerbang utama memegang kendali atas paradigma sebuah perpustakaan, di mana manusianya (SDM) sebagai man behind the machine memegang peranan utama. Untuk itu perlu adanya suatu peningkatan citra pustakawan (librarian image), (Di samping building image dan ICT based) di mana faktor sumber daya manusia merupakan faktor yang sangat penting agar teknologi yang ada dapat digunakan secara efektif. Pelatihan di bidang teknologi dimaksudkan untuk menjadikan staf yang dilatih atau dididik dapat menggunakan peralatan dan software dalam mendukung adanya peningkatan efektivitas staf dan organisasi. Dengan demikian memungkinkan staf memahami kerangka konseptual dari pada teknologi yang ada dan dapat membuat keputusan secara cerdas, kapan dan bagaimana menggunakan teknologi yang tersedia.
Dengan demikian citra pustakawan diharapkankan mulai dari sekarang memiliki etos kerja yang lebih proaktif dan costumer oriented, konsep perpustakaan dalam pengertian yang luas, menguasai TI (Teknologi Informasi), memahami ilmu manajemen, memiliki PR (Public Relations) yang baik, komunikatif, evaluasi untuk mengukur kinerja, profesionalisme dan menjalin kerjasama (dengan semua pihak), sebab masa depan menjadi milik suatu bangsa dimana sumber daya manusianya produktif dalam menggunakan pengetahuan, teknologi dan informasi. Hal ini merupakan faktor keberhasilan kesuksesan ekonomi, bukan lagi tergantung dari sumber daya alam.
Selain membangun citra diri, pustakawan dan perpustakaan di Indonesia perlu meningkatkan daya saingnya. Selama ini daya saing biasanya hanya dimaksudkan pada sektor perdagangan dan industri. Mengapa peningkatan daya saing juga perlu dikerjakan oleh pustakawan dan perpustakaan di Indonesia? Jawabnya adalah karena globalisasi. Globalisasi yang menjanjikan lebih transparannya dunia, tidak lain merupakan juga kompetisi antara bangsa dan negara.

Ø Keilmuan Pustakawan
Perkembangan ilmu dan teknologi telah memaksa bangsa-bangsa dengan mengandalkan penguasaan ilmu dan teknologi untuk dapat memenangkan kompetisi di abad 21 ini. Perkembangan yang sangat sulit bagi kita (Bangsa Indonesia) untuk terus mengikutinya. Di samping itu sistem pendidikan kita masih jauh ketinggalan. Di sisi lain penguasaan dan pemanfaatan teknologi khususnya teknologi komunikasi dan informasi masih terbatas, masih jauh ketinggalan dari negara tetangga Malaysia, Thailand, dan Singapura. Pemanfaatan multimedia untuk sektor pendidikan masih terbatas. Untuk menciptakan image kepustakawanan, perlu sumber daya berupa tenaga profesional pustakawan itu sendiri. Dikatakan profesional jika SDM cukup memiliki keilmuan dan mampu memberikan kepuasan kepada pengguna. Sementara itu Tingkat pendidikan pustakawan di Indonesia masih rendah sehingga kemajuan dan perkembangan keilmuan dan pengetahuan yang berkaitan dengan perpustakaan masih belum menonjol. Pustakawan bergelar Magister/Master rata-rata memiliki pendidikan sarjana non ilmu perpustakaan.
Berdasarkan data pustakawan Indonesia, sampai saat ini jumlah pustakawan Indonesia 2.935 orang, dimana sebaran berdasarkan pendidikan didominasi oleh SLTA 975 orang, S1 994 orang (Perpustakaan 377 orang, non perpustakaan 617 orang. (Lampiran 2). Sumber daya tenaga perpustakaan di Indonesia memperlihatkan tingkat dan latar belakang pendidikan formal yang heterogen, dimana lebih dari 1/3nya adalah pustakawan inpasing.
Menurut penulis sebagian besar tenaga pustakawan merupakan pustakawan pekerja /”pion-pion”. Sehubungan dengan hal tersebut menurut penulis sudah saatnya komunitas kepustakawanan Indonesia perlu membentuk pustakawan pemikir dan pustakawan peneliti. Dengan adanya pustakawan pemikir, diharapkan timbulnya dan terealisasinya beberapa pemikiran tentang kepustakawanan Indonesia, sedangkan pustakawan peneliti diharapkan menciptakan produk berupa kajian dan kritik kepustakawanan Indonesia. Bila kita lihat sebaran berdasarkan jabatan (lampiran 3) dimana pustakawan utama sejumlah 13 orang (0.4 %) diharapkan mampu untuk menyumbangkan pemikirannya dan pengalamannya selama bertugas 30 sampai 40 tahun di bidang perpustakaan, sebagai pustakawan pemikir. Sedangkan pustakawan peneliti dapat terdiri dari pustakawan madya yang terdiri 236 orang (8 %) untuk melakukan kajian kepustakawanan.
Dengan fenomena tersebut, mau tidak mau perpustakaan harus berbenah dengan membekali para tenaga pengelolanya (administratif maupun fungsional pustakawannya) bersikap profesional dalam memberikan pelayanannya. Untuk dapat bersikap profesional banyak perpustakaan (khususnya perguruan tinggi) mulai melakukan pengembangan sumber daya manusia (SDM) dengan melatih tenaga pengelola perpustakaan atau pustakawan dalam bidang layanan, komputer, bahasa Inggris, studi banding ke berbagai perpustakaan yang lebih maju, mengikutsertakan dalam seminar maupun magang di bidang ilmu perpustakaan, teknologi informasi dan komunikasi, mengikutsertakan pendidikan formal S2 bidang ilmu perpustakaan dan informasi, serta peningkatan kualitas/mutu layanannya dengan pembekalan layanan prima bagi tenaga pengelola perpustakaan/pustakawan. Tidak lupa institusi pendidikan perlu menambah wawasan bagi calon-calon pustakawan, antara lain filsafat/filosofi kepustakawanan dan isyu mutakhir serta ekosistem yang berkaitan dengan kepustakawanan.
Dalam perkembangannya ilmu perpustakaan sangat erat dengan teknologi informasi, di mana katalog dimodifikasi berbagai rupa dengan berkolaborasi menggunakan teknologi informasi. Dalam kedudukannya jurusan ilmu perpustakaan merupakan bagian dari jurusan ilmu komunikasi, di mana selain mempelajari katalogisasi dan klasifikasi, ilmu perpustakaan juga mempelajari penerbitan dan distribusi media, teknologi komunikasi, sebagai dasar untuk melakukan media analisis. Untuk perkembangannya perpustakaan membutuhkan media massa dalam menyebarkan pesannya. Bahkan perpustakaan perlu mempromosikan diri dan menjadikan lahan bisnis (analisis segmentasi, targeting, dan posisioning) dengan melakukan program komunikasi berdasarkan analisis SWOT yang telah dilakukan.
Seperti dijelaskan di atas, bahwa perkembangan TI mengakibatkan semua bidang pekerjaan perpustakaan tidak ada lagi yang tidak mendapat sentuhan ”keajaiban” TI. Keilmuan perpustakaanpun saat ini dituntut mampu mengikuti perubahan sosial pemakainya. Perubahan dalam kebutuhan informasi, perubahan dalam berinteraksi dengan orang lain, dan dalam berkompetisi. Pustakawan perlu menyadari bahwa perlu ditumbuhkan suatu jenis kepustakawanan dengan paradigma-paradigma baru yang mampu menjawab tantangan media elektronik tanpa meninggalkan kepustakawanan konvensional yang memang masih dibutuhkan (hybrid library). Hanya dengan sumber daya manusia (SDM) dalam hal ini tenaga pengelola perpustakaan dan tenaga fungsional pustakawan yang berkualitaslah (melalui keilmuannya) kita bisa membangun paradigma kepustakawanan Indonesia.


Praktek Kepustakawanan
Pada era globalisasi setiap negara harus membuka kesempatan dan melakukan kerjasama antar negara. Hal ini membawa konsekwensi bahwa tenaga kerja Indonesia harus mempunyai daya saing terhadap pasar tenaga kerja. Oleh karena itu perpustakaan memerlukan pustakawan dengan profesionalisme yang tinggi. Namun dalam prakteknya sampai sejauh ini pustakawan Indonesia belum bsa dikatakan mampu untuk menjadi profesional (idealpun belum ) bahkan masih sangat jauh dari konsep ideal. Sesuatu yang idealis adalah suatu tahapan yang akan dicapai oleh seorang profesional. Untuk itu sosok pustakawan yang ideal perlu tinjauan dari aspek profesional dan aspek kepribadian dan perilaku (dalam rumusan profil pustakawan Indonesia). Pustakawan yang ideal menurut Joko Santoso (2001) adalah pustakawan yang mampu mengelola informasi (information manager) dan mengelola pengetahuan (knowledge manager).[2] Harapan ini masih perlu perjuangan panjang.
Untuk exsist di era globalisasi dan mendukung praktek kepustakawanan Indonesia menjadi lebih baik, maka SDM pustakawan perlu menerapkan standar kompetensi dalam berkolaborasi dengan TI, yaitu dengan:
Kemampuan dalam penggunaan komputer (komputer literacy)
Kemampuan dalam menguasai basis data (database)
Kemampuan dalam penguasaan peralatan TI (tools and technological skill)
Kemampuan dalam penguasaan teknologi jaringa (computer networks)
Kemampuan dalam penguasaan internet dan intranet
Kemampuan dalam berbahasa Inggris
Prakteknya pustakawan Indonesia masih lemah dalam penguasaan bahasa asing (Inggris) dan teknologi informasi. Berbagai situs jaringan informasi sebagai salah satu wadah kounikasi maya, belum dimanfaatkan secara optimal oleh pustakawan. Pustakawan tidak banyak menulis. Dalam produksi karya tulis ilmiah, Indonesia yang menghasilkan produk 0.012% adalah yang terendah dibandingkan dengan Singapura 0.179%, Thailand 0.084%, Malaysia 0.064%, dan Filipina 0.035%. (Lampiran 4) Gambaran umum ini merefleksikan produksi karya tulis di bidang perpusdokinfo masih amat rendah. Mengingat sebagian besar karya tulis ilmiah ditulis dalam bahasa Indonesia, maka komunitas internasional tidak dapat membaca atau mengerti perkembangan bidang perpusdokinfo di Indonesia. Selain itu masih banyak diantara perpustakaan, pustakawannya cenderung memperhatikan media komunikasinya terutama buku dan majalah, daripada materi informasi yang terkandung di dalam bahan pustaka itu sendiri. Di sini kecenderungan yang mencolok pustakawan masih terlihat pada kegiatan penanganan bahan pustaka daripada mengkomunikasikannya.

Aplikasi teknologi
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi atau information and comunication technology (ICT) telah membawa perubahan dalam berbagai sektor, termasuk dunia perpustakaan. Perkembangan dari penerapan information and comunication (ICT) dapat diukur dengan telah diterapkannya/digunakannya sebagai
sistem informasi manajemen (SIM) perpustakaan dan perpustakaan digital (digital library). Sistem informsi manajemen (SIM) perpustakaan merupakan pengintegrasian antara bidang pekerjaan aministrasi, pengadaan, inventarisasi, katalogissi, pengolahan, sirkulasi, statistik, pengelolaan anggota perpustakaan, dan lain-lain. Sistem ini sering dikenal juga dengan sebutan sistem otomasi perpustakaan. Dengan penerapan SIM ini secara langsung merubah paradigma layanan perpustakaan. Layanan perpustakaan yang dulunya off-line berubah menjadi on-line. Di sini Perpustakaan harus mampu merancang layanan perpustakan yang memungkinkan akses terhadap sumber-sumber informasi (information resources). Hal ini mengisyaratkan bahwa pemanfaatan perpustakaan tidak lagi bergantung pada visitasi pemakai perpustakaan atau bertumpu pada kunjungan secara fisik semata, tetapi pemanfaatannya dapat dilakukan setiap saat dan dari berbagai tempat dimanapun pengguna berada.
Ada beberapa hal yang perlu dibenahi dalam aplikasi TI di perpustakaan, yaitu:
1) Intrastruktur Teknologi Informasi
Pemanfaatan TI saat ini menjadi kewajiban hampir dibanyak perpustakaan. TI membantu perpustakaan memperbaiki kualitas dan jenis layanan. Minimal saat ini sebuah perpustakaan harus mempunyai:
· Jaringan lokal (Local Area Network) berbasis TCP/IP. Keuntungan TCP/IP adalah banyaknya aplikasi (misalnya: WWW) yang berjalan pada infrastruktur tersebut.
· Akses ke Internet. Minimal harus ada akses ke internet untuk pustakawan agar mudah mengakses informasi eksternal perpustakaan.
· Komputer buat pustakawan dan pemakai perpustakaan. Harus ada komputer untuk server yang akan memberikan servis kepada pemakai, komputer untuk pustakawan bekerja dan komputer untuk pemakai agar bisa menggunakan layanan perpustakaan.
2) Content
Content adalah semua dokumen, aplikasi, dan layanan yang akan kita “sajikan” kepada pemakai perpustakaan.Yang termasuk dalam dokumen seperti buku, majalah, jurnal, prospektus, laporan keuangan, dan berbagai bentuk media lain baik tercetak maupun elektronik. Aplikasi adalah sistem (biasanya menggunakan komputer) yang dibuat dengan tujuan tertentu. Misalnya: aplikasi administrasi perpustakaan, aplikasi untuk menyimpan artikel yang didownload dari internet, aplikasi administrasi majalah, dan aplikasi perpustakaan dijital. Sedang Layanan adalah jenis produk atau “jualan”-nya perpustakaan. Misalnya: Layanan peminjaman buku, layanan pinjam antar perpustakaan, layanan pemberitahuan buku baru via e-mail, layanan pemesanan buku dan lain-lain. Juga secara serius memberikan Content Manajemen Pengetahuan. Contoh: Dokumen yang sudah dikemas ulang dan diberikan nilai tambah sehingga pemakai mudah dalam pengambil keputusan yang spesifik (dokumen), Aplikasi WIKI yang memungkinkan orang bekerja secara kolaborasi dalam penulisan (aplikasi), dan Layanan Asistensi dalam melakukan riset (layanan). Esensi teknologi tetap sebagai extension of the man, yang juga dapat dipahami sebagai suatu kompleksitas sistem dari keberadaan equipment, techniques dan people.
Seperti apa yang diterapkan Trans TV, di mana manajemen koleksi media audio visual yang meliputi berbagai rekaman suara (sound recording), rekaman video baik dalam magnetic tape maupun dalam film, serta berbagai gambar lain (Media dan teknologi perekaman seperti teknologi optik, betacam, digital betacam, dvd, dvc, maupun dvc-pro), telah disusun dalam perpustakan dengan memakai dua perangkat lunak yaitu perspective fokus dan library cassette management. Layanan perpustakaan disediakan melalui jaringan intranet, sehingga pengguna dalam lingkungan Trans TV dapat mengakses informasi yang ada pada perpustakaan virtual (Vlib) tanpa harus datang di lokasi Vlib.
3) Sumber Daya Manusia
Merupakan faktor terpenting dalam layanan perpustakaan.
4) Pemakai/user
Seperti halnya perusahaan komersial, perpustakaan juga harus jeli dalam membidik konsumennya (pengguna) dengan melakukan analisis segmentasi, targeting, dan posisionong (STP). Dengan mengetahui consumer behavior-nya, diharapkan perpustakaan dapat memberikan kepuasan kepada pengguna.
Apabila pembenahan tersebut di atas terealisasi, maka teknologi informasi siap untuk diaplikasikan. Aplikasi teknologi informasi menuntut pustakawan dan perpustakaan untuk melakukan transformasi fungsi dalam menambah nilai pada informasi dan juga pada perpustakaan itu sendiri. Caranya dengan melakukan streamlining, ekspansi, dan inovasi dalam bentuk:
- Menyediakan one-stop service: multy functioal librarians multi-tasking customers
Pekerjaan tradisional bisa dilakukan melalui satu computer, dengan prosedur yang jauh lebih pendek. Dari menerima pesanan informasi suatu topik, melakukan pencarian, memesan pada toko buku/penerbit/mendownload dari internet, mengolah informasi yang didapat, dan menyampaikan informasi pada si pemesan tanpa harus berpindah dari satu komputer apalagi melakukan perjalanan ke luar.
- Menyediaka koleksi dalam multi format
Disamping dalam bentuk text dan cetakan ada bahan-bahan multi media, digital, hypertext, dsb. Termasuk juga pertemuan dan diskusi formal.nonformal
- Adding value
Pustakawan menyediakan akses hanya ke sumber-sumber yang dapat dipercaya kualitasnya. Caranya dengan membuat portal atau pintu masuk ke sumber-suber yang telah terseleksi mis. Virtual libraries subject-based gateways.
- Layanan online 24 jm
Adanya fasilitas digital dan internet
- Melayani individu atau kelompok sebagai anggota jaringan
Kemajuan ICT memudahkan dan mendorong terjadinya kolaborasi dalam melakukan pengelolaan pengetahuan dalam konteks jaringan. Seperti yang telah dilakukan oleh proyek jaringan virtual perpustakaan universitas krsten di indonesia: InCU-VL. Juga yang sedang dirintis oleh perpustakaan UGM.
Hal ini seperti yang diungkap oleh Susan Perry :
“The information professional of the future will most likely be a hybrid of librarianship and computing, media specialization, and instructional technology, and we need to start thinking about how we as librarians add value to the teaching/learning/research support services and what we need to learn from our colleagues”.

Keprofesionalan pustakawan
Lynn menyatakan “A Profession delivers esoteric services based on esoteric knowledge systematically formulated and applied to the needs of client”.[3] Suatu profesi menyajikan pelayanan yang hanya dilakukan oleh orang tertentu yang secara sistematis diformulakan dan diterapkan untuk memenuhi kebutuhan para pelanggannya. Dengan demikian tdak semua pekerjaan disebut profesi dan tidak semua orang mampu melaksanankan suatu profesi. Dalam menerapkan aplikasi teknologi di bidang perpustakaan, maka perlu sumber daya manusia yang profesionl di bidangnya. Karena teknologi informasi akan sangat berperan dan akan menjadi tulang punggung karya dokumentasi maupun jasa informasi, sehingga antisipasi atas perkembangan teknologi informasi harus menjadi perhatian para pengelola informasi.
Profesionalisme pustakawan mengandung arti pelaksanaan kegiatan perpustakaan yang didasarkan pada keahlian, rasa tanggungjawab. Keahlian merupakan dasar dalam menelurkan hasil kerja yang tidak sembarang orang dapat menghasilkannya, dan dengan keahlian ini pustakawan diharapkan dapat memecahkan masalah yang tidak dapat dipecahkan oleh orang lain. Tanggung jawab dalam arti bahwa kegiatan yang dilakukan pustakawan tidak hanya sekedar melakukan tugas rutin, tetapi melakukan kegiatan yang bermutu dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan lewat prosedur kerja yang benar. Profesi merupakan pekerjaan yang memerlukan keahlian/expertise, tanggung jawab, dan kesejawatan/corporateness. Pustakaan sebagai suatu profesi diakui berdasarkan SK MENPAN No. 18/MENPAN/1988 yang diperbaharui dengan SK MENPAN No. 33/MENPAN/1990 yang kemudian diperkuat dengan kewajiban dan hak sebagai profesi dan fungsional pustakawan. Untuk menetapkan suatu bidang apakah termasuk profesi atau bukan ditetapkan kriteria-kriteria sebagai berikut:
Memiliki pola pendidikan tingkat akademik
Berorientasi pada jasa
Tingkat kemandirian
Memilki kode etik
Memiliki batang tubuh ilmu pengetahuan
Memiliki organisasi keahlian
Status keprofesionalan pustakawan memang bertolak dari diri pribadi masing-masing. Pertanyaan kita sekarang adalah : "Apakah benar pustakawan kita mau menjadi profesional serta adakah kemauan dan upaya apa saja yang sudah dilakukan?" Pemerintah kita telah mengakui pustakawan adalah pejabat fungsional khusus. Dengan pengakuan ini berarti telah dibuka lebar pintu keprofesionalan pustakawan. Oleh sebab itu upaya membangun citra diri pustakawan (image branding) saat ini menjadi keharusan. Namun pengakuan status keprofesionalan pustakawan pada akhirnya sangat tergantung pada penilaian masyarakat luas. Apakah mampu untuk beradaptasi dengan globalisasi?
Utuk kedepannya layanan perpustakaan berubah menjadi layanan informasi. Hal ini dikarenakan perubahan bentuk media yang digunakan pada masa kini tidak hanya buku. Akibatnya terjadi perubahan cara mengelola keseluruhan proses penciptaan, pengkodean, penyimpanan, dan pemakaian kembali dokumen dalam segala bentuknya. Dibarengi dengan terjadinya perubahan antara lain dalam jumlah penduduk, pembentukan kelas-kelas baru dalam masyarakat, perkembangan pesat dalam pendidikan, dan penyediaan bentuk-bentuk layanan baru bagi anggota masyarakat.
Hal tersebut di atas mengakibatkan derasnya arus kebutuhan baru terhadap informasi yang baru pula. Apabila pustakawan bersikeras memakai bentuk layanan perpustakaan secara tradisional untuk kebutuhan masa kini, maka akan terjadi kesenjangan. Bertolak dari itu, maka saat ini pustakawan harus dapat memberikan pelayanan prima, yaitu suatu sikap atau cara pustakawan dalam melayani penggunanya dengan prinsip layanan berbasis pengguna (people based service) dan layanan unggul (service excellence). Tujuan dari service excellence adalah : 1) memuaskan pengguna; 2) meningkatkan loyalitas pengguna; 3) meningkatkan penjualan produk dan jasa; 4) meningkatkan jumlah pengguna.
Profesi pustakawan dituntut untuk mampu bersikap lebih terbuka, suka kerja keras, suka melayani, mengutamakan pengabdian serta aspek-aspek kepribadian dan perilaku. Tuntutan hal tersebut,menurut hemat penulis itulah kata kunci yang sebenarnya yang perlu terus menerus diaplikasikan dalam menjalankan arti profesi. Dalam mengantisipasi masa mendatang, pustakawan hendaknya selalu tanggap terhadap perkembangan teknologi informasi, mengenal seluk beluk manajemen, menguasai cara-cara penyediaan informasi, dan memahami sumber-sumber informasi, serta mengetahui sistem jaringan informasi

Organisasi Profesi
Di Inggris lahir organisasi pustakawan dengan nama Library Association (LA) bermarkas di Lodon berdiri tahun 1877. Di Amerika lahir ALA /American Library Association merupakan organisasi pustakawan tertua di dunia. Organisasi ini berdiri tanggal 6 oktober 1876. kecuali ALA di Amerika juga ada organisasi perpustakaan menurut negara-negara bagian, seperti Ohio Library Association, South East Regional Library Association, Music Library Association, specal library association, association of college and research libraries.
Di Indonesia organisasi kepustakawanan disebut IPI/Organisasi Pustakawan Indonesia berdiri tahun 1973. Suatu organisasi profesi, seperti Ikatan Pustakawan Indonesia adalah alat untuk meningkatkan wawasan dan kemampuan kerja dalam rangka merealisasikan berkembangnya karier. Organisasi inilah yang menetapkan kode etik profesi dan melaksanakan sanksi atas pelanggaran etika. Dalam perkembangannya organisasi ini belumlah tampil sebagai organisasi profesi yang berwibawa. IPI dirasakan oleh sebagian orang belum mandiri, keuangan IPI masih banyak tergantung pada subsidi dan bantuan instansi di bidang perpustakaan di Indonesia (Perpustakaan Nasional RI) dan Badan-badan lain, baik pemerintah maupun swasta. Di samping itu, keterlibatan para anggota IPI belum dapat dilaksanakan secara optimal. Namun pantas dicatat dalam kurun waktu tersebut IPI berhasil menyelesaikan berbagai programnya, seperti pembentukan pengurus daerah maupun cabang di semua provinsi Indonesia, membina hubungan dengan IFLA, CONSAL, berhasil memperjuangkan status pustakawan sebagai tenaga fungsional,dan menyelenggarakan konggres 3 tahun sekali. .
Mencermati perubahan yang semakin dahsyat, organisasi profesi pustakawan Indonesia, hendaknya berupaya melakukan berbagai perbaikan dan pengembangan layanan terbaiknya bagi kepentingan masyarakat secara terencana dan berkesinambungan. Dengan demikian organisasi profesi ini tidak akan kehilangan arah baik dalam rangka pengambilan keputusan, maupun dalam rangka meningkatkan mutu organisasi.

Kesimpulan
Di era globalisasi, informasi telah menjadi kebutuhan utama dalam kehidupan manusia. Pemanfaatannya telah merambah ke seluruh aspek kehidupan tidak terkecuali di bidang perpustakaan yang penyampaiannya telah sedemikian canggihnya sebagai dampak dari perkembangan teknologi informasi. Tuntutan kebutuhan akan informasi, apalagi terkait dengan era globalisasi saat ini akan semakin meningkat dan bervariasi. Hal ini menuntut kualitas intelektual yang semakin tinggi.
Mencermati kondisi kepustakawanan kita saat ini, peran pustakawan di era globalisasi semakin komplek dan tidak mudah. Berbagai perubahan yang telah terjadi menempatkan posisi pustakawan pada suatu tantangan dalam menghadapi globalisasi informasi, diantaranya yaitu:
Tantangan teknis (SDM)
- Penguasaan TI
- Penguasaan bahasa asing
- Usaha merubah cara pandang dan tekad dalam memperbaiki kinerja para pustakawan dan para pejabat yang bekerja di perpustakaan.
2. Tantangan profesi
- Bertambahnya profesi baru
Munculnya internet menciptakan profesi baru di luar pustakawan yang juga menyediakan informasi, yaitu on-line specialist dan information broker.
- Terjadinya perubahan peranan pustakawan dari pemberi informasi menjadi trainer information searching based IT.
- Ketidakpercayaan diri pustakawan/paradigma pustakawan
Perpustakaan mempunyai suatu misi, yaitu melestarikan suatu hasil karya atau budaya bangsa yang terdapat dalam berbagai media baik cetak maupun non cetak. Harapan ke depan bagi pustakawan adalah menjadi seorang yang profesional di bidangnya, selalu belajar dan mengikuti perkembangan baik teknologi informasi maupun ilmu pengetahuan sehingga mampu memberikan suatu layanan yang cepat dan terampil. Dapat membuat keputusan secara cerdas, kapan dan bagaimana menggunakan teknologi yang tersedia.

Penutup
Apa yang penulis kemukakan di dalam paparan penulisan ilmiah ini masih banyak kekurangannya. Walaupun demikian dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk memaksimalkan peran dan fungsi pustakawan dalam melayani kebutuhan informasi masyarakat. Untuk melakukan suatu perubahan kepustakawanan apalagi menyangkut pemberdayaan sumber daya manusia tidaklah mudah, karena itu memerlukan tekad dan komitmen yang kuat dari pustakawan sendiri serta dukungan nyata dari organisasi perpustakaan.

Daftar Pustaka

American Library Association. (2005). Libraries, Literacy & Learning in the 21st Century. American Libraries, August v36 i7 pSI (12)

Ardi Siswanto. Otokritik IPI Sebagai Organisasi Profesi Dalam Rangka Otonomi Daerah. Diakses dari http://www.consal.org.sg/

B. Sudarsono. (2000). Peran Pustakawan di Abad Elektronik: Impian dan Kenyataan. Disampaikan pada Seminar Peran Pustakawan di Abad Elektronik: Impian dan Kenyataan. Jakarta: PDII-LIPI.

Diao Ai Lien. Transformasi Dunia Perpustakaan. Diakses dari http://www.aptik.or.id/artikel/

Dupuis, J. & Ryan, P. (2002) Bridging the two cultures: a collaborative spproach to managing electric resources. Issues in Science and Technological Librarianship, Spring.

Elfindri. (2006). Jalur Cepat Lulus S1 dan S2: Disertai Informasi Jurusan Terakreditasi A Pada Setiap Perguruan Tinggi di Indonesia. Tangerang: Visimedia.

Hernandono. (2005). Meretas Kebuntuan Kepustakawanan Indonesia :Dilihat Dari Sisi Sumber Daya Tenaga Perpustakaan. Makalah disampaikan pada Orasi Ilmiah Dan Pengukuhan Pustakawan Utama. Diakses dari http://www.pnri.go.id/official_v2005.5/activities/news/

Hill, Janet Swan. (2005). Analog People for Digital Dreams: Staffing and Educational Considerations for Cataloging and MetadataPprofessionals. Journal of Library Resources & Technical Services. Jan 2005 v49 i l p14(5)

Khoe Yau Tung. (2001). Teknologi Jaringan Intranet. Yogyakarta: Andi.

Purwono dan Sri Suharmini. (2006). Perpustakaan dan Kepustakawanan Indonesia. Jakarta: Universitas Terbuka.

.......... Membangun Citra: Perpustakaan Perguruan Tinggi Di Indonesia Menuju Perpustakaan Bertaraf Internasional. Diakses dari http://www.lib.ui.ac.id/

.......... Mengembangkan Kualitas Dan Layanan Perpustakaan Berbasis TI. Diakses dari http://hendrowicaksono.multiply.com/jurnal/
........... Pengguna Internet Diprediksi Capai 20 juta: Indonesia Butuh 25 Juta Komputer. Bisnis Indonesia - 29/11/06
........... Pidato Ilmiah Pengukuhan Pustakawan Utama:Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Diakses dari http://www.pnri.go.id/




Lampiran 1


Diagram 1:
Pengguna Internet Tahun 2006

Sumber: Economist (2006)






Grafik 1:
Pengguna Internet di Indonesia Januari 2004-Maret 2005


Sumber: Bisnis Indonesia - 29/11/06





Lampiran 2


Diagram 1:
Pustakawan Berdasarkan Pendidikan di Seluruh Indonesia


Sumber: Pusat Pengembangan Pustakawan 2005 – 2006









Diagram 2:
Perbandingan Pendidikan
Pustakawan S1 Perpustakaan dan S1 Non Perpustakaan
Sumber: Pusat Pengembangan Pustakawan 2005 – 2006










Lampiran 3



Diagram 1:
Diagram Pustakawan Berdasarkan Jabatan di Seluruh Indonesia


Sumber: Pusat Pengembangan Pustakawan 2005 – 2006

























Lampiran 4



Diagram 1:
Kiprah Pustakawan dalam Produksi Karya Tulis
Sumber:
Hernandono dalam Orasi Ilmiah dan Pengukuhan Pustakawan Utama
Tahun 2005





[1] Dupuis, J. & Ryan, P. (2002) Bridging the two cultures: a collaborative approach to managing electric resources. Issues in Science and Technological Librarianship, Spring.

[2] Purwono dan Sri Suharmini. (2006). Perpustakaan dan Kepustakawanan Indonesia. Jakarta: Universitas Terbuka, mengutip Joko Santoso. (2001). Manajemen Perpustakaan Berbasiskan Pengetahuan: Melihat Peranan Pustakawan. Visi Pustaka: Jaringan Informasi Antar Perpustakaan. Vol 3 No. 1

[3] Purwono dan Sri Suharmini. (2006). Perpustakaan dan Kepustakawanan Indonesia. Jakarta: Universitas Terbuka. Hal: 34

24 Mei 2008

Mystery as Seen in Edgar Allan Poe’s Short Stories

Mystery as Seen in Edgar Allan Poe’s Short Stories
The Fall of The House of Usher, The Tell-Tale Heart,
and The Black Cat







Minor Thesis

Submitted as a Partial Fulfillment of Requirements
For The Sarjana Sastra Degree in English Department
Faculty of Letters and Fine Arts-Sebelas Maret University


By

Riah Wiratningsih
Nim C.1398021



FACULTY OF LETTERS AND FINE ARTS
SEBELAS MARET UNIVERSITY
SURAKARTA
2003


Mystery as Seen in Edgar Allan Poe’s Short Stories
The Fall of The House of Usher, The Tell-Tale Heart,
and The Black Cat
Name: Riah Wiratningsih
NIM: C.1398021

Abstract
Edgar Allan Poe was a famous American poet, short story writer, journalist, and literary critic who lived in 1809-1849. As the saddest and the strangest figure in American literary history, he had unique style in expressing his works. Death played a major part in many of his writings. He blended the sorrow, despair, anger and suffer from loss, as in his short stories The Fall of The House of Usher, The Tell-Tale Heart and The Black Cat. The death in the three short stories brings the reader to a mystery. This is interesting to be analyzed. In the three short stories there are some questions, full of secrets, and have surprise endings. Mystery gives reader uncertainty about the conclusion of the story. In some stories the reader may guess the conclusion before they even finish reading them, but when author adds mystery into their masterpieces, the stories become far more interesting and keeps the reader wondering whether the conclusion of the story would end like they thought and therefore keeps the reader wanting to read more.
This research is descriptive; it takes form of statements, quotations, and explanations that found in the short stories. The method of collecting data is through library research. It is only a study to book references, which are provided in library. After reading and understanding the short stories, essays, comments and other writing that support the subject matter of the research, the researcher can analyze the three short stories. The purpose of the research is to reveal the mystery in Poe’s short stories The Fall of the House of Usher, The Tell-Tale Heart, and The Black Cat. In order to achieve the purpose, the researcher employs structural approach as the guide step.
In those three short stories discussed in this thesis, Poe creates the appearance of mystery through idiosyncrasy of his characters. His technique of characterization can be identified with the creation of uniqueness and strangeness. Point of view, setting, plot, foreshadowing, and diction support his technique of characterization. Based on the analysis, it is found that those elements work in unity; inside everything contribute to the effect of mystery. Through those three short stories, it shows that Poe’s creation are dominated by mystery.

1. Introduction
Literature is an imitation of life, which expresses and communicates thoughts, feelings and attitudes toward life. Thus it can be seen as a mirror of life. Literature generally gives people good lessons of life, for literature gives a chance for people to be wiser, to be realistic, mature and humane. So far it helps us understand human sentiments, human interests, human problems, and human values. According to Rahardjo, literature endows us with vision, from which we can draw our conclusion and interpretations about behavior, and about what is worth striving for in live (Rahardjo, 1995:6).
From all kinds of literary works: prose, drama, and poetry, prose has detail in setting (time and place), and narrative characteristics. These two points can be found in novel and short story, whereas drama is a literary composition, which consists of dialogue, direction, narration and usually exposes human conflict. Drama has three major divisions: tragedy, comedy, and tragicomedy. While poetry has arranged words in verse, rhythmical composition, fact, emotion in imagination: kinds of poetry are ballads, epic, lyric and so on.
As mentioned above, prose consists of novel, short story and novella. The researcher will only discuss about short story, because short story is interesting. It is a short piece of prose fiction aiming at unity of characterization, theme, and effect. It conveys a single mood, has a surprise ending and fast moving. By its nature, it concentrates upon a single incident or action. It has few characters. Its setting and characterization must be evoked then developed in detail. Its effect must be made quickly and sharply. As being short it does not mean of being slight. Short story should be long in depth and should give an experience meaning. The author would not tell the whole history. This implies more than it tells to the reader. The style of writing varies in narration, description, and dialogue. When the author tells the reader what happens, he will describe events in a clear, reportorial style. When he describes characters or a scene of the style, his choice of words may become more poetic. He will use striking figures of speech to clarify the characters or the setting in order to help the reader visualize them. He may also imply rhythmical sentences with an abundance of comparison and detail for the reader’s enlightenment and entertainment. It can be seen in the short story The Fall of the House of Usher.
Discussing about short story particularly, we surely keep well in mind that there are three great American short story writers: Edgar Allan Poe, Herman Melville, and Nathanial Hawthorne. The first one is widely known as the writer of tales of mystery and terror. The researcher is interested in Poe because most of in his short stories, he wrote about death. Each page is filled with mystery with torture, terrible death and ghost or demons. He used anger, loss, fear, loneliness and nervous characters to create reader’s suspense.
The popularity of his story spreads through Europe, especially France. Patric F Quin remarks: “Not only did Poe become a great man in France; he has become, thanks to Baudelaire, a world figure...” (Regan, 1967: 64). Therefore it is ironic that Poe’s works come into vogue earlier in France than in his own nature country.
His background of life can be said as the unhappy one. He is a man who has never been loved. He could only see the bad things in life, never the good. In Poe’s writing man is always doing something to another object. This object represents Poe at some points in his life. For example, a man in The Black Cat treated his cat unfairly; while, all the women in Poe’s life seem to die. These deaths play a major effect on Poe’s writing style and evoked a mystery.
Mystery tales in Poe’s works (short story) are interesting to analyze because there is something unexplained, unknown, or kept secret. This mystery excites the reader’s curiosity, heightens the tension and increases the suspense. Surprise solutions hints through clues in the stories, many scenes and incidents are revealed at the end, even though neither has a detective or an explicit puzzle to solve.
The researcher wants to discuss Poe’s work, especially his short stories, The Fall of the House of Usher, The Tale-Tell Heart, and The Black Cat. Poe commonly writes in first person narration. The narrator becomes one of the characters of the tale, giving the stories a sense of limited perspective and lending an air of believability. In the first short story, the narrator visits the mansion of Roderick Usher and tries to open Roderick’s secret. The tale brings us to a feeling of shiver as we hear the Lady Madeline ascending from the tomb toward the room where her brother awaits her inevitable coming. On that level the tale offers the readers the pleasure of mystery; in the architecture of the house, the rooms, the furniture give a perception that everything in the house is mysterious. So does in the physical body of Roderick Usher and his characteristic.
The second short story is about torturing black cat by cutting one of its eyes from the socket and hanging to the lamb of the tree then killing the narrator’s wife by axe and inserting the corpse to wall in the cellar. While in the last short story, it tells about the darker side of a young man who has killed an old man just because he wants to get rid of his fear. Both stories are going to be tragic. The narrator has done something sadistic and too horrible. Finally, it becomes a hidden mystery.
Through the three short stories, the researcher has found something mysterious. Poe blended his experiences with sharp idea as explorer on heartache and suffering. We cannot find his unique style in others. In the researcher’s opinion, Poe’s stories are difficult to study. Studying his stories is a great challenge. The researcher considers that those three short stories can be the representative of his creations. This stimulates the researcher to analyze his work, which is focused on the appearance of mystery, that dominant in the three of his works.
In this analysis the researcher applies a structural approach to reveal the appearance of mystery in the three short stories. There are two approaches used in every study of a work of art that are formalism and structuralism. Formalism sees literary work as a world of words. This approach is about mastering the language or understanding the meaning of the words in the work. Whereas, it is not easy to understand the right meaning of the words in a work. It can be multi interpretable. The sense of words and its context is needed to dig up the implicative and connotative meaning, such as the case in Poe’s works that is unique (he puts the unique object, unique setting, and unique characters) and hard to study. So formalism approach is necessary to help the researcher in understanding the meaning of words in a work.
While structural approach is an important means to study the relationship between one element with others in the work of art’s structure as a whole. All elements such as theme, plot, characterization, setting, style, point of view, foreshadowing and tone all contribute to the total meaning of the work. Those are separated from other things or extrinsic aspect; author, reader, and social culture must be pushed aside, because it has no correlation with the art’s structure. Both approaches linked together in answering the problem statement. Here, the researcher took the element such as characterization, point of view, setting, plot, foreshadowing, and diction to reveal the appearance of mystery in the three short stories. After examining those elements, the researcher finds the interrelationship among them. At the end it bring to a mystery.
Based on the introduction above, the researcher formulates the problem as follow:
“How does Poe create the mystery in his works as reflected in the short stories The Fall of the House of Usher, The Tell-Tale Heart and The Black Cat?


2. Analysis
As stated above, the researcher will apply structural approach to reveal the appearance of mystery in Poe’s works. Here, researcher only analyzes the element of literary work, especially short story that are characterization, point of view, setting, plot, foreshadowing, and diction to give a clear mysterious picture of what Poe wants to tell the reader.
2. 1. Characterization
An author has his own style in creating his fictional characters. Poe is no exception, his characters always represent people who are mentally disturbed and they are obsessed with evil acts. He wrote about a man who is driven outside of the real world to the edge of madness.
There are three significant characters in The Fall of the House of Usher: the narrator, Roderick Usher and Madeline Usher. The narrator is an old friend of Roderick’s. Roderick and Madeline are twins. They came from ancient family. Physically what we can see in Roderick’s performance is vagueness. There is something mysterious in him; the miraculous luster of the eye, his action and his voice. The eye are two luminous windows that later, when madness causes his eyes to become red litten window. His lips are very pallid and smile no more. Roderick’s reserves are always unobtrusive, charity, excessive and habitual. He is fond of music and book. Yet the character of his face is like an ordinate expansion of above the regions of the temple. But now the expression of his face is vagueness. His voice is a tremulous, weighty, abrupt, unhurried, and hollow-sounding enunciation as he says: ‘I shall perish,’ said he,’ I must perish in this deplorable folly. Thus, thus, and not otherwise, shall I be lost.’(Poe, 1990:18). What narrator finds in Roderick’s voice is like a bounden slave. He is enchained by certain superstition impressions.
The other characteristic of Roderick described by the narrator through small picture of his gloom interior and the condition of auditory that morbid. He has a fantastic characteristic. The verses that entitled ‘The Haunted Palace’ also as an expression of Roderick’s characteristic. The verse from the first until fourth describe about the greatness of the palace, the greenest of the valleys, cooled wind blow, and bright color of the sun light. It is like a picture of a peaceful palace. Next the fifth and sixth verse describe the opposite of the palace. The power of evil has assailed the glory of the palace. It blushed and bloomed destroy without reminder. Through these verses narrator describes that Roderick as a daring, trespassed characteristic.
After the entombed of Roderick’s sister, his characteristic became worse. He roams and runs from chamber to chamber with hurried, unequal, and objectless step. He has owned fantastic impressive superstitions. All the characters that appear in Roderick’s performances, voices, and his actions above arouse a strange or mysterious feeling. This excites the narrator (reader)’s curiosity to learn and reveal more about the hidden mystery of Roderick.
Madeline is associated with the material and temporal. Madeline matches her brother’s pallor. Her special mark is red. A faint blush when she entered, blood on her garments when she emerged, this was timely by the blood-red light of the emergent full moon at the moment of destruction on the house. Roderick and Madeline Usher are the sole. They are twins (two parts of one personality). Roderick and Madeline are so close that they can sense what is happening to each other. Roderick represents the mind of intellect. While, the portion of personality (senses) is represented by Madeline. Roderick tries to detach itself from its more physically oriented twin. This can be seen in Roderick aversion to his own senses as well as by his premature entombment of his twin sister. Living without Madeline (without the senses) makes him suffer from an “... intolerable agitation of the soul”. At the end story the two are reunited in death. This becomes a hidden mystery in both characters, also an important aspect in the unity of effect of this story.
What we can notice from the characterization in The Tale-Tell Heart is that Poe creates the character (narrator) like an insane man. The man says that he hears the voice in heaven but certainly he does not. “I heard all things in the heaven and in the earth, I heard many things in hell” (Poe, 1990 : 88). Here Poe does not show the appearance of man’s character, but from what man says and does. The man is obsessed killing the old man who bears an extreme fear of his evil eye. Actually, it is the evil eye that the man murders, not the old man. The old man has done nothing wrong to the man as Poe illustrates: “I loved the old man. He never wronged me. He had never given me insult....” (Poe, 1990: 88).
The man’s obsession shows that he has owned mystery in his characteristic. Why has he the heart to kill? In a deeper sense, the murder does have a purpose to ensure that the man does not have endured the haunting of the evil eye any longer. The man suffers and commits a crime because of an excess of emotion over intelligence. So the mystery in the narrator had been solved. Poe relates how the man believes the validity of previous statement: ‘... very dreadfully nervous I had been and am, but why will you say that I am mad? The disease had sharpened my senses-not destroyed-not dulled them” (Poe, 1990: 88). The disease in this case is obviously a severe case of emotion ad nervousness. The man has the reason and plans but not to distinguish right from wrong. As stated by Robert Regan in his essays “... they approach us and speak to us what is true and what is so mysterious as to confound our categories of truth and falsehood (Regan, 1967: 10). Poe also creates the police officers characters as the minor characters since they are not developed. However their appearance in the end of the story gives special significance to the story. It increases the intensity of action of the story.
The characterization in The Tale-Tell Heart is quite similar to the characterization in the tale of The Black Cat. Here, Poe shows narrator, like the main character is an individual who suffers from mental disorder, who has owned mystery too. For the first time the narrator shows his good behavior to his pets. “I was especially fond of animals, and was indulged by my parents with a great variety of pets. With these I spent most of my time, and never was so happy as when feeding and caressing them” (Poe, 1990: 198). Suddenly, the narrator was driven by mental disorder. He becomes high tempered and this is illustrated in the way he treats his cat. “I took from my waistcoat-pocket a penknife, opened it, grasped the poor beast by the throat, and deliberately cut one of its eyes from the socket! I blush, I burn, I shudder, while I pen the damnable atrocity” (Poe, 1990: 200). The spirit of perverseness possesses the narrator. It urges him to commit continual evil acts. It can be seen in the way he kills his black cat. “... I had inflicted upon the unoffending brute. One morning, in cold blood, slipped a noose about its neck and hung it to the limb of a tree. (Poe, 1990: 201).
The narrator’s spirit of perverseness was possessed by evil thoughts. He unfortunately killed his wife by axe then inserted the body on the wall. He clearly shows his very strange behavior. Though he commits a series of crime, he looks as if he were not guilty at all. “... I soundly and tranquilly slept; eye, slept even with burden of murder upon my soul!” (Poe, 1990: 209). Through the actions of the narrator, it can be inferred that in narrator’s character of strangeness convincingly creates mystery. Poe also presents the narrator’s wife and group of police as the minor characters. They are not developing at all, but their presence supports the intensity of the action.
2. 2. Point of View
Point of view is a way as the position from which the story is told. It is important in telling a story, for it determines how much the reader must know, and can know of what is happening. It has significant functions to produce a certain effect in the story. This is an author’s chief method of placing the reader in the framework of the story. Point of view helps the reader imagine and understand the author’s relationship with the character’s experience to his fictional world, especially to the minds of the characters. As stated by Robert Stanton:
If, therefore, we are to imagine a character’s experience, we must share his point of view. But if we are also to understand his experience, we must understand his point of view; and understanding is different from sharing. We must understand the character himself, and consciously recognize everything that colors his view of things (Stanton, 1965: 28).
In a story a character’s experience is the “camera”. Like the camera, a character can brings us into an author’s point of view so that we share his experience. Also the author must be able to remove reader from the character so that reader can contemplate and understand him.
The technique of narration that Poe commonly writes is first person point of view. For Poe, the narrator becomes one of the characters of the tale. The narrator as a main character tells his own story. The narrator conveys his attitude through the way narrative devices are handled, including choice of words. Sometimes the narrator will state point-blank how he feels about a subject; the narrator’s attitude is conveyed indirectly.
The Fall of the House of Usher does not use the typical, first person point of view, where the protagonist tells a personal account of a crime that he has committed. The narrator is a character that acts like an observer. So it is easy for the reader to become “the friend” in Poe’s story, as both the narrator and the reader invite into “strangeness and madness”. The narrator is connected to the Usher family since he and Roderick were once close boyhood. They have not seen each other for many years. From the Roderick’s request that convinces, the narrator makes the journey in Roderick’s live. Roderick calls the narrator “madman!” However, the narrator escapes, to watch as the House of Usher crumbles into the deep and dank tarn.
The technique of narration that Poe uses in The Tale-Tell Heart is the first person point of view. He expresses that the narrator suffers an internal conflict, a war between his own faculties, body and mind or mind and soul. No word is wasted and therefore affirms the theory of the short story as held by Poe.
At the beginning of the story the man’s appearance impressively arrests the reader’s attention. The man says that he is seriously nervous: “True! - nervous-very, very dreadfully nervous I had been and am; but why will you say that I am mad?” (Poe, 1990: 88). The man’s statement brings to a strange effect so it creates a mystery in manself. The same effect is also found in the man’s manner of speaking:
“They heard! -They suspected! -They knew! -They were making a mockery of my horror! -this I thought, and this I think. But anything was better than this agony! Anything was more tolerable than this derision! I felt that I must scream or die! -And now-again! -hark! Louder! Louder! Louder!” (Poe, 1990: 95).
The man speaks in a “strange” manner. He betrays himself in his own terror; sight terror (the evil eye) becomes sound terror (the heartbeats).
Poe presents his story of The Black Cat in a form of first person point of view. Through the narrator the reader can perceive that the narrator wants to reveal his personal experience. It can be seen in the beginning of the story:
“For the most wild yet most homely narrative which I am about to pen, I neither expect nor solicit belief. Mad indeed would I be to expect it, in a case where my very senses reject their own evidence. Yet, mad am I not – and very surely do I not dream. But tomorrow I die, and today I would unburden my soul. My immediate purpose is to place before the world, plainly, succinctly, and without comment, a series of mere household events. In their consequences, these events have terrified – have tortured – have destroyed me” (Poe, 1990: 197).
From the statement above, the man admits that his story is a terrible one. He wants to tell his story, which is not necessarily believable and so mysterious. Firstly the man’s behavior implies that he is fond of animals:
“I married early, and was happy to find in my wife a disposition not uncongenial with my own. Observing my partiality for domestic pets, she lost no opportunity of procuring those of the most agreeable kind. We had birds, goldfish, a fine dog, rabbits, a small monkey, and a cat. This latter was a remarkably large and beautiful animal, entirely black, and sagacious to an astonishing degree. In speaking of his intelligence, my wife, who at heart was not a little, tinctured with superstition, made frequent allusion to the ancient popular notion, which regarded all black cats as witches in disguise” (Poe, 1990: 198).
Among the domestic pets, there is a special pet, a cat. The narrator is very fond to the cat but at the end the cat fall in terrible dead.
2. 3. Setting and atmosphere
Setting is the environment of its events. In Poe’s stories the setting of place occurs indoors. The setting of time often happens at night. This setting of time indicates the general atmosphere of mystery. In The Fall of the House of Usher, Poe creates the house from beginning of the tale has the characteristic of mystery. Poe describes the house are oppressive, soundless and melancholy. The story begins on one “ ... dull, dark, and soundless day in autumn of the year ...” ( Poe, 1990: 9). It is aware a sense of death and decay. In the first paragraph Poe uses “vacant eye-like windows” this word has the meaning of mystery. The eye has the same meaning with Roderick’s eyes. The eyes are tortured by even-a faint light. Through the narrator Poe describes the atmosphere of the house, like the words “... – an atmosphere which had no affinity with the air of heaven, but which had reeked up from the decayed tress, and the gray wall, and the silent tarn-pestilent and mystic vapor, dull, sluggish, faintly discernible, and leaden hued” (Poe, 1990: 13). What narrator feels is like breathing in an atmosphere of sorrow. It is nowhere near being beautiful, holy, or clean. As stated by Allen Tate in his essays “ very rarely he gives us a real perception because he is not interested in anything that is alive, everything in Poe is dead; the house, the room, the furniture, to say nothing of nature and human beings” (Regan, 1967: 49). From the literary point of view he combined the primitive and decadent. Primitive, because he had neither history nor historical sense; decadent, because he was the conscious artist of an intensive which lacked moral perspective.
The architecture of the house (gothic archway, building in a zigzag direction, the large and lofty room also with the furniture is profuse, comfortless, antique and tattered) grows the narrator’s mind a strange and ridiculous building. This excites the narrator (reader)’s curiosity that there is a sorrowful impression. There is a mystery insoluble. The atmosphere of mystery also can be seen through the setting of time after the buried of Lady Madeline.
“It was, especially, upon retiring to bed late in the night of the seventh or eighth after the placing of the Lady Madeline within the donjon, that I experienced the full power of such feelings. Sleep came not near my couch-while the hours waned and waned away. I struggled to reason off the nervousness, which had dominion over me. I endeavored to believe that much, if not all of what I felt, was due to the bewildering influence of the gloomy furniture of the room-of the dark and tattered draperies, which, tortured into motion by the breath of a rising tempest, swayed fitfully to and fro upon the walls, and rustled uneasy about the decoration of the bed” (Poe, 1990: 29).
The narrator also describes, “A sense of insufferable gloom (which) pervaded (his) spirit” as he approached the house of Usher (Poe, 1990:9). The term “House of Usher” refers not only to the crumbling mansion but also the remaining family members who live within, the last of the “all time-honored Usher race”. The word “the full, setting, and blood-red moon” in the final destruction of the house of Usher, represents that the moon is the planet of madness. It is in fact that light of the “blood-red moon” that spills through the fissure of the house of Usher seems a cause for it being torn asunder.
The setting of time in The Tale-Tell Heart seems more dominant than the setting of place. The setting of time is stated by the words as “every night”, “about midnight”, “every morning”, “every night just at twelve”, “four a clock-still dark as midnight”. One example as said by the narrator “So you see he would have been a very profound old man, indeed, to suspect every night, just at twelve, I looked in upon him while he slept (Poe, 1990:89). While “The room, “the chamber”, “the door” and “the floor” indicate the setting of place. For example as said by the narrator “His room was as black as pitch with the thick darkness (for the shutters were close fastened, through fear of robbers), and so I knew that he could not see the opening of the door, and kept pushing it on steadily, steadily (Poe, 1990: 90). The murderer’s action takes only a few hours from midnight up to four o’clock and occurs in the old man’s room that is black as pitch with the thick darkness. Before he kills the old man he feels that night is so strange and terrible. “And now at the dead hour of the night, amid the dreadful silence of that old house, so strange a noise as this excited me to uncontrollable terror.” (Poe, 1990: 92). This terrible night forcefully creates an atmosphere of mystery. In short a way, the unity of setting is effectively achieved.
In The Black Cat the setting of time can be seen in the destruction of the narrator’s house.
“On the night of the day on which this most cruel deed was done, I was aroused from sleep by the cry of fire. The curtains of my bed were in flames. The whole house was blazing. It was with great difficulty that my wife, a servant, and myself made our escape from the conflagration. The destruction was complete. My entire worldly wealth was swallow up, and I resigned myself thence forward to despair” (Poe, 1990: 201).
After the fire, he visits the ruins and finds a strangeness in the wall with one exception not fallen in. He sees that there is silhouette against a white wall, the figure of a cat (Poe, 1990: 202). The readers can feel a throbbing atmosphere of mystery through the imagination of a burning house.
The actions in The Black Cat take more time than actions in The Tale-Tell Heart do. The events that are presented in The Black Cat are highly selected. It comprises the setting of place indoor and outdoor. While, in The Tell-Tale Heart the setting of place is only in the room.
2. 4. Plot
Plot refers to the systematic chain of events, which make up the short story. Its links in this chain consist of cause and effect, helps to build suspense and solve the problem. It must have a true beginning, middle, and end; it must be plausible and logical, and yet it should occasionally surprise the reader; it must arouse and satisfy suspense.
In The Fall of The House of Usher, the narrator is connected to the Usher family since they were once close boyhood companions. He is requested by Roderick to come in Roderick’s house that convinces him to make the journey. He finds some strange things in the house and the owner. The ancient mansion and the family, both have on the verge of collapse. Everything contributes to the hidden mystery. Roderick and Lady Madeline are not just brother and sister but they are twins, represent the mental and physical components of a single being or soul. Roderick represents the mind, while Lady Madeline represents the senses (hearing, seeing, touching, tasting, and smelling). Since Lady Madeline has mysterious illness, this brings Roderick to a deep pressure, makes him hopeless and frail. His mind haunts by phantasm, a disorder brain. After the entombment of his twin, his condition deteriorates. He begins to suffer and his character becomes worse and very strange. At the end of story, Lady Madeline returns from her premature tomb, and carries her brother to death. The house itself splits asunder and sinks into the tarn. This story is dominated by grim phantasm and FEAR, from the foreboding opening paragraph to the terrible conclusion. Through the chain of events everything contributes to the effect of mystery.
In The Tell-Tale Heart, there is a man (narrator) who wants to release the extreme fear from the old man’s ‘evil eye’. The old man’s eyes resembled of a vulture-a pale blue eye, makes his blood run cold. It haunts him day and night. Thus pushes him to rid the eye forever. He wants to punish the old man’s eye while it is open but he finds that the eye always closed. For it is not the old man who vexed him, but his evil eye. A few moments before the murder, he imagines that the beating of the old man’s heart grows louder and even so that he worries about it, last it can be heard by someone else.
“But the beating grew louder, louder! I thought the heart must burst. And now new anxiety seized me-the sound would be heard by a neighbor! The old man’s hour had come! With a loud yell, I threw open the lantern and leaped into the room. He shrieked once-once only. In an instant I dragged him to the floor, and pulled the heavy bed over him (Poe, 1990: 92-93).
After the murder, the police officers came and tried to investigate his crime. He can prove to the police officers that there is nothing wrong. Suddenly his unconscious mind confesses his crime in strange manner: “Villain!’ I shrieked,’ dissemble no more! I admit the deed!-tear up the planks!-here, here!-it is the beating of his hideous heart!” (Poe, 1990: 95) Viewed from this plot, supported by the manner of speaking and actions of the character, this story leads us into the mystery.
The story of The Black Cat describes that the narrator’s marriage is a happy one because he and his wife show congeniality; they love domestic pets. One of their favorite pets is a beautiful cat called Pluto. Unexpectedly, the man character lacks of self-control. The change grows steadily: “I grew day by day, more moody, more irritable, more regardless of the feelings of others” (Poe, 1990: 199). He becomes high-tempered. It can be notice in the way he treats his wife: “I suffered my self to use intemperate language to my wife. At length, I even offered her personal violence (Poe, 1990: 199). It is clear that because of his being more regardless of the feelings of others, he treats his wife improperly.
The man’s high temper increases as he punishes the cat by cutting out of its eyes. He feels sorry for having treated the cat, which has once been so dear to him. But, what he feels leads him to annoyance, then he is driven by spirit of perverseness as his reasons: “who has not, a hundred times, found himself committing a vile or a stupid action, for no other reason than because he knows he should not? (Poe, 1990: 201). This drives him to continue the torture upon the cat; he hangs the cat to the large branch of a tree. Madly, he blows his wife’s head with the axe and she falls dead instantly.
Having treated his wife improperly, cut out his cat’s eye and hung his cat, then he continues commits crime by killing his wife. It is caused by his spirit of perverseness willfully urges him to do so. The man finds himself doing continuous crime just for the wrong’s sake: “my heart beat calmly as that of one who slumbers in innocence (Poe, 1990: 210). Through the stories composed above; supported by the actions and voices of the character, it has created a mystery story.
2. 5. Foreshadowing
Foreshadowing is the technique of hinting at the nature of coming action. So the reader is not shocked by what happens for the expected to come about. Foreshadowing usually comes in at the very beginning of the story.
The story of The Fall of the House of Usher, takes place in autumn (first paragraph) a season associated with death. It brings the reader to a direct reflection that encounters with death. Usher’s mansion is another example. There is a barely perceptible fissure in the mansion and a small crack in the house of Usher, which the narrator defines as both the family and the family mansion. Also what the narrator says that the Usher’s mansion has an atmosphere, which has no affinity with the air of heaven. This foreshadows an event that will ruin the house and the family.
From the statement in the first paragraph of The Tell-Tale Heart, the reader does not exactly know what kind of person the narrator is. The narrator does not know what he is talking about. He acts as a crazy character. The narrator told the reader that he loved the old man but hates the eye and believe the eye is evil. The narrator’s fear is represented by the old man’s eye. Whenever the eye fell upon him, he felt that his blood run cold. This foreshadows to an event of a brutal murder to the old man.
While in the last story, The Black Cat there is an interesting passage. The narrator tells the reader “we had bird, goldfish, a fine dog, rabbits, a small monkey, and a cat” (Poe, 1990: 198). This is emphasized to foreshadow the intense hatred that the narrator will have for the animal. Also when the narrator’s feeling of regardless, he lacked of self-control then he treated his wife improperly and even offered her personal violence. It foreshadows to an event to the narrator’s wife. At least the narrator’s wife felt in terrible dead by an axe.
2. 6. Diction
Diction refers to the selection and use of words. It is the author’s characteristic manner of expressing himself. Poe had a rather unique writing style. He had chosen every word in every sentence carefully to create a reader’s suspense. His meticulous choice of words creates a very effective atmosphere of mystery in the story.
The opening sentences in the story The Fall of the House of Usher draw the reader into this gloomy word. Some of the description of the house includes “dull, dark, soundless, cloud hung oppressively low, melancholy, insufferable gloom, desolate, and terrible.” This description is beautiful. The imagery of the house is spectacular. It has very good opening. It is like viewing the mysterious countryside through the narrator’s keen eye. The other words like “white trunks of decayed trees, the black and lurid tarn, the vacant eye like windows” all contribute to the collective atmosphere of despair and anguish. This is done with the words black, lurid, and vacant. The narrator also finds the expressed feeling of Roderick, feeling of phantasm by using word FEAR. This indicates an emotion of alarm and agitation caused by the expectation or realization of danger. The grim phantasm, FEAR dominates this story from the foreboding paragraph to the terrible conclusion. The disease and illness of his beloved sister make him fall in deep pressure. He is like a bounden slave to fear. He is a mind haunted by phantasm.
In The Tell-Tale Heart, fear is represented by the old man’s eye. The words that the narrator uses are “evil eye and the vulture eye”. It means that the eye is not a natural eye. Someone who has this eye represents that he is a person of rapacious predator nature. The belief centers on the idea that those who posses the evil eye have the power to harm people of their possessions by merely looking at them. Vulture indicates to a large bird having dark plumage, naked head and neck, and feeding on carrion. This condition is felt by the narrator whenever the eye fells upon him.
The Black Cat is an interesting title. Poe used the word “black” to the cat and named the cat “Pluto”. “Black” refers to something evil and wicked. While “Pluto” in Greek and Roman mythology was the God of the dead. The use of this name leads the reader to believe that the cat is somehow responsible for the death that is caused by the narrator himself. This is where the reader is first introduced to the fact that events of this story are full of strange actions and superstition that brings to the atmosphere of mystery.



3. Conclusion
The researcher finds the appearance of mystery in the three short stories that had been discussed in this analysis. Setting is used to extensively to do many things. Poe used it to convey ideas, effect, and image. It establishes a mood and foreshadows future events. Through the setting, which is able to foreshadow events and reveal character traits, establish an atmosphere of mystery. It is supported by the point of view, plot and diction.
Through the character in the Fall of the House of Usher, the gloomy atmosphere of the Usher’s mansion affects the narrator. He is sucked in to Usher’s dream world, the world Usher created after living alone in his dismal house. The reality does not reach all of his brain. Usher is only half in the real world, half in his own world. In The Tell-Tale Heart, the narrator paints a vivid and remarkable picture of the fear of his victim. While in The Black Cat, what the narrator had done to his cat and his wife did not make him fell guilty. All the characters in the three short stories above are confusing, strange, and unbelievable. The characters in the three short stories destroyed and betrayed themselves in their own terror. It creates an appearance of mystery in each of the character, supported by the way of the characters’ voice and their behavior.
His use of point of view enables the stories to create general atmosphere of mystery in reader’s mind. The narrator is a character of whom the reader know very little, who acts like an observer. In Poe’s stories both the narrator and the reader are invite into strangeness and madness.

Through the plot Poe composes his simplified story, but this simplicity of the plot hides something that is not easy to dig up by reader. Reader needs comprehension in understanding the story’s composition. This invites the reader to think. He or she is treated as a mature reader. It does not teach, instruct, or lecture the reader. Poe’s plot plays on real human fears as opposed to scares of death. This excites the reader to read until the end of story, to find the hidden mystery.
Poe uses of foreshadowing is just enough to clue the reader into what will happen, but not enough to give it away. By foreshadowing his story to the reader, it let them guess even more and finally let them guess the ending. Then slowly plays around with the reader by taking out some details from the story to let them guess even more and finally let them wonder all over again about everything.
In diction, Poe chooses every word in every sentence carefully to create a gloomy mood. It makes the reader wants to know more and more what Poe wants to tell the reader. By means of these elements it has been proved that his works is unique, full of terror and mystery.
Based on these facts, it can be said that Poe’s short stories are identical to his greatness as a master of mystery. He becomes the saddest and the strangest figure in American literary history.



Bibliography

Forester, Norman. 1960. American Poetry and Prose. Boston: Houghton Mifflin.
Griffith, Kelley. 1986. Writing Essays About Literature: A Guide and Style Sheet. San Diego: Harcourt Brace Jovanovich.
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Poe, Edgar Allan. 1994. Tales of Mystery and Terror. London: Puffin.
Peden, William. 1971. Short Fiction: Shape and Substance. Boston: Houghton Mifflin.
Rahardjo, Hendarto. 1995. Introduction to English Literature. Surakarta: University Sebelas Maret Press.
Regan, Robert. 1967. Poe: A Collection of Critical Essays. New Jersey: Prentice Hall, Englewood Cliffs.
Stanton, Robert. 1965. An Introduction to Fiction. Washington: Holt, Rinehart and Winston.
Sumardjo, Jakob. 2001. Catatan Kecil Tentang Menulis Cerpen. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Thornley, G.C. 1967. Modern Short Stories. London: Longman.